Jumat, 24 Juni 2011

TATA HUKUM ATAU SEJARAH TATA HUKUM PADA ZAMAN HINDIA BELANDA SEJAK BUBARNYA VOC DI BATAVIA

Pengertian Tata Hukum
Tata hukum adalah susunan hukum yang berasal mula dari istilah recht orde (bahasa Belanda). Susunan hukum terdiri atas aturan-aturan hukum yang tertata sedemikin rupa sehingga orang mudah menemukannya bila suatu ketika ia membutuhkannya untuk menyelesaikan peristiwa hukum yang terjadi dalam masyarakat. Aturan-aturan yang ditata sedemikian rupa yang menjadi ‘tata hukum’ tersebut antara satu dan lainnya saling berhubungan dan saling menentukan. Tata hukum berlaku dalam suatu masyarakat karena disahkan oleh pemerintah masyarakat itu.

Pengertian Sejarah Tata Hukum
Tata hukum yang selalu berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman dan perkembangan masyarakat di tempat mana tata hukum itu berlaku. Oleh karena itu  aturan-aturan yang terkandung di dalamnya berubah pula menuruti kebutuhan masyarakat itu. Dengan demikian, sejarah tata hukum Indonesia memuat kejadian-kejadian penting mengenai tata hukum Indonesia pada masa lalu yang dicatat dan diingat serta harus dipahami oleh bangsa Indonesia.






-Masa Vereenigde Oost Indische Compacnie (1602-1799)
Pada masa berdagang di Indonesia VOC diberi hak-hak istimewa oleh pemerintah Belanda. Hak istimewa tersebut adalah hak octrooi yang meliputi monopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian, dan mencetak uang. Karena hak istimewa tersebut, VOC semakin menjadi-jadi dengan memaksakan aturan-aturan yang dibawanya dari Belanda kepada penduduk pribumi. Ketentuan hukum tersebut sama dengan hukum Belanda kuno yang sebagian besar merupakan hukum disiplin .
VOC pun mengumpulkan aturan-aturan yang pada mulanya tidak disimpan dengan baik hingga akhirnya diberi nama Statuta Batavia (1642). Usaha serupa dilakukan lagi pada tahun 1766 dan menghasilkan Statuta Batavia Baru. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Freijer yang di didalamnya termuat aturan-aturan hukum perkawinan dan hukum waris Islam. Selain peraturan-peraturan hukum yang dibuat oleh VOC, pada masa ini pun kaidah-kaidah hukum adat Indonesia tetap dibiarkan berlaku bagi orang-orang bumi putera (pribumi).
Dari uraian di atas dapat diketahi bahwa ketika VOC berakhir pada 31 desember 1799 ( karena VOC dibubarkan oleh pemerintah belanda) tata hukum yang berlaku pada waktu itu terdiri atas aturan-aturan yang berasal dari negeri Belanda dan aturan-aturan yang diciptakan oleh gubernur jendral yang berkuasa di daerah kekuasaan VOC. Serta aturan-aturan tidak tertulis maupun tertulis yang berlaku bagi orang-orang pribumi , yaitu hukum adatnya masing masing.
-Masa Besluiten Regerings (1814-1855)
Pada masa Besluiten Regerings (BR) raja mempunyai kekuasaan mutlak dan tertinggi atas daerah-daerah jajahan termasuk kekuasaan mutlak terhadap harta milik negara bagian yang lain. Kekuasaan mutlak raja tersebut diterapkan pula dalam membuat dan mengeluarkan peraturan yang berlaku umum dengan nama Algemene Verordening atau peraturan pusat. Peraturan pusat berupa keputusan raja maka dinamakan koninklijk besluit. Pengundangannya lewat selebaran yang dilakukan oleh gubernur jendral. Ada dua macam keputusan raja sesuai dengan kebutuhannya.
1.      Ketetapan raja yaitu besluit sebagai tindakan eksekutif raja misalnya ketetapan pengangkatan gubernur jendral.
2.      Ketetapan raja sebagai tindakan legislative, misalnya berbentuk Algemene Verordening atau Algemene maatregel van bestuur di negeri Belanda.
Raja mengangkat para komisaris jendral yang ditugaskan untuk melaksanakan pemerintahan di Nederlands Indie (Hindia Belanda). Mereka yang diangkat ialah Elout Buyskes dan Van der Capellen. Para komisaris jendral itu tidak membuat peraturan baru untuk mengatur pemerintahannya. Mereka tetep memberlakukan undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku pada masa Inggris berkuasa di Indonesia, yaitu mengenai Landrete dan susunan pengadilan buatan Raffles. Lembaga peradilan yang diperuntukkan bagi orang-orang pribumi tetap sama digunakan peradilan Inggris begitu pula pelaksanaannya. Dalam usaha untuk memenuhi kekosongan kas Negara Belanda,  Gubernur Jendral Du Bus de Gisigres menerapkan politik agraria dengan cara memperkerjakan orang-orang pribumi yang sedang menjalankan hukuman yang dikenal dengan kerja paksa (dwangs arbeid).
Pada tahun 1830 pemerintah Belanda berhasil mengkodifikasikan hukum perdata. Pengundangan hukum yang sudah berhasil dikodifikasi itu baru dapat terlaksana pada tanggal 1 Oktober 1838. Setelah itu timbul pemikiran tentang pengkodifikasian hukum perdata bagi orang-orang Belanda yang berada di Hindia Belanda. Pemikiran itu akan diwujudkan sehingga pada tanggal 15 Agustus 1839 menteri jajahan di Belanda mengangkat komisi undang-undang bagi Hindia Belanda yang terdiri dari Mr. Scholten van Out Haarlem (ketua) dan Mr. J. Schneither serta Mr.J.F.H. van Nes sebagai anggota. Beberapa peraturan yang berhasil ditangani oleh komisi itu dan disempurnakan oleh Mr. H.L.Whicer adalah:
1.      Reglement op de Rechterlijke Organisatie (RO) atau Peraturan Organisasi Peradilan.
2.      Algemene Bepelingen van Wetgeving (AB) atau ketentuan-ketentuan umum tentang perundang-undangan.
3.      Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
4.      Wetboek van Kooponhandel (WvK) atau KUHD
5.      Reglement of de Burgerlijke Rechtsvordering (RV) atau Peraturan Tentang Acara Perdata.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa tata hukum pada masa Besluiten Regerings terdiri dari peraturan-peraturan tertulis yang dikodifikasikan. Peraturan tertulis yang tidak dikodifikasi, dan peraturan-peraturan tidak tertulis yang khusus berlaku bagi orang bukan golongan Eropa.
-Masa Regerings Reglement (1855-1926)
Pada tahun 1848 terjadi perubahan Grond Wet (UUD) di negeri Belanda. Perubahan UUD negeri Belanda ini mengakibatkan terjadinya pengurangan terhadap kekuasaan raja, karena Staten Generaal (Perlemen) campur tangan dalam pemerintahan dan perundang-undangan jajahan Belanda di Indonesia. Perubahan penting yang berkaitan dengan pemerintahan dan perundang-undangan, ialah dengan dicantumkannya Pasal 59 ayat I,II,dan IV Grond Wet yang isinya:
Ayat I                   : Raja mempunyai kekuasaan tertinggi atas daerah jajahan dan harta       kerajaan di bagian dari dunia.
Ayat II dan IV      : Aturan tentang kebijaksanaan pemerintah melalui undang-undang. Sistem keuangan ditetapkan melalui undang-undang. Hal-hal lain yang menyangkut mengenai daerah-daerah jajahan dan harta kalau diperlukan akan diatur dengan undang-undang.
Peraturan-peraturan yang menata daerah jajahan tidak semata-mata ditetapkan oleh raja dengan Koninklijk Besluit-nya, tetapi peraturan itu ditetapkan bersama oleh raja dan perlemen. Dengan demikian, sistem pemerintahannya berubah dari monarki konstitusional menjadi monarki konstitusional parlementer. Peraturan tersebut adalah Regerings Reglement (RR). Golongan penduduk ada tiga golongan, yaitu golongan Eropa, Timur Asing,dan Indonesia (pribumi). Pada masa berlakunya RR telah berhasil diundangkan kitab-kitab hukum, yaitu:
1.      Kitab hukum pidana untuk golongan Eropa melalui S.1866:55.
2.      Algemene Politie Strafeglement sebagai tambahan kitab hukum pidana untuk golongan Eropa.
3.      Kitab hukum pidana bagi orang bukan eropa melalui S.1872:85
4.      Politie Strafelegment bagi orang bukan Eropa.
5.      Wetboek van Strafrecht yang berlaku bagi semua golongan penduduk melalui S.1915:732 mulai berlaku sejak 1 Januari 1918.
-Masa Indische Staatsregeling (1926-1942)
Indische Staasregeling (IS) adalah RR yang sudah diperbaharui dan berlaku tanggal 1 Januari 1926 melalui S.1925:415. Pembaruan RR atau perubahan RR menjadi IS ini karena berubahnya pemerintahan Hindia Belanda yang berawal dari perubahan Grond Wet negeri Belanda pada 1922. Pada masa berlakunya IS ini bangsa Indonesia sudah turut membentuk undang-undang dan turut menentukan nasib bangsanya karena mereka turut dalam volksraad.
Pada pasal 131 IS dapat diketahui bahwa pemerintah Hindia Belanda membuka kemungkinan adanya usaha untuk unifikasi hukum bagi ketiga golongan penduduk Hindia Belanda pada waktu itu yang ditetapkan dalam pasal 163 IS.
Tujuan pembagian golongan penduduk sebenarnya untuk menentukan sistem-sistem hukum yang berlaku bagi masing-masing hukum yang berlaku bagi masing-masing golongan. Sistem hukum yang berlaku bagi masing-masing golongan adalah sebagai berikut.
1.      Hukum yang berlaku bagi golongan Eropa sebagaimana ditentukan dalam Pasal 131 IS adalah hukum perdata, hukum pidana material, dan hukum acara.
a.       Hukum perdata yang berlaku bagi golongan Eropa adalah Burgerlijk Wetboek dan Wetboek van Koophandel dengan asas konkordansi.
b.      Hukum pidana material yang berlaku bagi golongan Eropa ialah Wetboek van Strafrecht.
c.       Hukum acara yang digunakan ialah Reglement op de Burgerlijk Rechtsvordering dan Reglement op de Strafvodering . Susunan peradilan yang digunakan bagi golongan Eropa di jawa dan Madura adalah:
·                     Residentiegerecht
·                     Raad van Justitie
·                     Hooggerechtshof
2.      Hukum yang berlaku bagi golongan pribumi adalah hukum adat dalam bentuk tidak tertulis. Namun jika pemerintah Hindia Belanda menghendaki lain, hukum dapat diganti dengan ordonansi yang dikeluarkan olehnya. Dengan demikian berlakunya hukum adat tidak mutlak. Keadaan demikian telah dibuktikan dengan dikeluarkannya berbagai ordonansi yang diberlakukan bagi semua golongan.
Susunan peradilannya adalah:
·        Districtsgerecht
·        Regentschapsgerecht
·        Landraad

3.      Hukum yang berlaku bagi golongan Timur Asing :
a.       Hukum perdata dan Hukum pidana adat mereka menurut ketentuan Pasal 11 AB.
b.      Hukum perdata golongan Eropa hanya bagi golongan Timur Asing Cina untuk wilayah Hindia Belanda.
c.       WvS yang berlaku sejak 1 Januari 1918, untuk hukum pidana material.
d.      Lembaga pengadilan:
·        Pengadilan Swapraja
·        Pengadilan Agama
·        Pengadilan Militer
-Masa Penjajahan Jepang
Pada masa penjajahan Jepang daerah Hindia Belanda dibagi menjadi dua, yaitu:
1.      Indonesia Timur dibawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang berkedudukan di Makassar.
2.      Indonesia Barat dibawah kekuasaan Angkatan Darat Jepang berkedudukan di Jakarta.
Peraturan-peraturan yang digunakan untuk mengatur pemerintahan di wilayah Hindia Belanda dibuat dengan dasar Gun Seirei melalui Osamu Seirei. Dari ketentuan Pasal 3 Osamu Seirei No. 1/192 dapat diketahui bahwa hukum yang mengatur pemerintahan dan lain-lain tetap menggunakan Indische Staaregeling (IS).
Kemudian pemerintah bala tentara Jepang mengelurkan Gun Seirei nomor istimewa 1942, Osamu Seirei No. 25 tahun 1944 dan Gun Seirei No.14 tahun 1942, untuk melengkapi peraturan yang telah ada sebelumnya. Gun Seirei nomor istimewa tahun 1942 dan Osamu Seirei No.25 tahun 1944 memuat aturan-aturan pidana yang umum dan aturan-aturan pidana yang khusus. Gun Seirei No.14 tahun 1942 mengatur tentang pengadilan di Hindia Belanda.
-Masa 1945-1949
Setelah merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia menjadi bangsa yang bebas dan tidak tergantung pada bangsa lain. Sehingga Indonesia bebas menentukan nasibnya untuk mengatur negara dan menetapkan tata hukumnya.UUD 1945 ditetapkan sebagai Undang-Undang Dasar dalam penyelenggaraan Pemerintahan. Sedangkan tata hukum yang berlaku adalah segala peraturan yang telah ada dan pernah berlaku pada masa penjajahan Belanda,  masa Jepang berkuasa dan produk-produk peraturan baru yang dihasilkan oleh pemerintah Negara Republik Indonesia dari 1945-1949.
-Masa 1949-1950
Masa ini adalah masa berlakunya konstitusi RIS. Pada masa tersebut tata hukum yang berlaku adalah tata hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan yang dinyatakan berlaku pada masa 1945-1949 dan produk peraturan baru yang dihasilkan oleh pemerintah Negara yang berwenang untuk itu selama kurun waktu 27-12-1949 sampai dengan 16-08-1950.
-Masa 1950-1959
Tata hukum yang diberlakukan pada masa ini adalah tata hukum yang terdiri dari semua peraturan yang dinyatakan berlaku berdasarkan Pasal 142 UUDS 1950, kemudian ditambah dengan peraturan baru yang dibentuk oleh pemerintah Negara selama kurun waktu dari 17-08-1950 sampai dengan 04-07-1959.
-Masa 1959-Sekarang
Tata hukum yang berlaku pada masa ini adalah tata hukum yang terdiri dari segala peraturan yang berlaku pada masa 1950-1959 dan yang dinyatakan masih berlaku berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 ditambah dengan berbagai peraturan yang dibentuk setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

MEKANISME TUNTUTAN GANTI RUGI DALAM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

Di dalam dunia perdagangan tidak jarang kita mendengar adanya kelalaian atau tidak adanya itikad baik pada pelaku usaha yang sering kali menimbulkan kerugian pada konsumen. Namun karena keterbatasan pengetahuan, konsumen tidak tahu bagaimana cara untuk menuntut kerugian yang mereka alami. Untuk itu, perlu dibuat mekanisme tuntutan ganti rugi di dalam Hukum Perlindungan Konsumen guna membantu mengatasi keterbatasan pengetahuan tersebut.

Mekanisme tuntutan ganti rugi
Konsumen dapat menuntut ganti berdasarkan perbuatan melawan hukum Pasal 1365 KUHPerdata. Untuk dapat menuntut ganti kerugian berdasarkan perbuatan melawan hukum harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1.      Perbuatan itu harus melawan hukum
Perbuatan melawan hukum tidak lagi hanya sekedar melanggar undang-undang, melainkan perbuatan melawan hukum tersebut dapat berupa: Melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat, berlawanan dengan kesusilaan baik, berlawanan dengan sikap hati-hati yang seharusnya diindahkan dalam pergaulan masyarakat terhadap diri atau benda orang lain.
2.      Ada Kerugian
Kerugian yang timbul dari perbuatan orang lain, dalam hal ini pelaku usaha, baik itu kerugian materiil maupun kerugian immateriil.
3.      Ada hubungan sebab akibat
Hubungan sebab akibat misalnya hubungan kerugian yang diterima konsumen dengan tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha.
4.      Ada Kesalahan (schuld)
Adanya unsur kesalahan yang dapat dibuktikan.

Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
Pada dasarnya penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui pengadilan atau diluar pengadilan. Dalam UUPK, penyelesaian sengketa konsumen diatur dalam Bab X pasal 45-48. Penyelesaian dengan cara non-peradilan bisa dilakukan melalui Alternatif Resolusi Masalah (ARM) di BPSK, LPKSM, Direktorat Perlindungan Konsumen atau lokasi-lokasi lain yang telah disetujui kedua belah pihak.
BPSK dibentuk pemerintah di tiap-tiap daerah untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan secara murah, cepat dan sederhana. Secara teknis Penyelesaian Sengketa Melalui BPSK diatur dalam Surak Keputusan (SK) Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Tata Cara Penyelesaian Melalui BPSK
1.      Konsiliasi:
a.    BPSK membentuk sebuah badan sebagai pasif fasilitator;
b.    Badan yang membiarkan yang bermasalah untuk menyelesaikan masalah mereka secara menyeluruh oleh mereka sendiri untuk bentuk dan jumlah kompensasi;
c.    Ketika sebuah penyelesaian dicapai, itu akan dinyatakan sebagai persetujuan rekonsiliasi yang diperkuat oleh keputusan BPSK;
d.    Penyelesaian dilaksanakan paling lama 21 hari kerja.
2.      Mediasi:
a.    BPSK membentuk sebuah fungsi badan sebagai fasilitator yang aktif untuk memberikan petunjuk, nasehat dan saran kepada yang bermasalah;
b.    Badan ini membiarkan yang bermasalah menyelesaikan permasalahan mereka secara menyeluruh untuk bentuk dan jumlah kompensasinya;
c.    Ketika sebuah penyelesaian dicapai, itu akan diletakkan pada persetujuan rekonsiliasi yang diperkuat oleh keputusan BPSK;
d.    Penyelesaian dilaksanakan paling lama 21 hari kerja.



3.      Arbitrasi:
a.    Yang bermasalah memilih badan CDSB sebagai arbiter dalam menyelesaikan masalah konsumen;
b.    Kedua belah pihak seutuhnya membiarkan badan tersebut menyelesaikan permasalahan mereka;
c.    BPSK membuat sebuah penyelesaian final yang mengikat;
d.    Penyelesaian harus diselesaikan dalam jangka waktu 21 hari kerja paling lama.
e.    Ketika kedua belah pihak tidak puas pada penyelesaian tersebut, kedua belah pihak dapat mengajukan keluhan kepada pengadilan negeri dalam 14 hari setelah penyelesaian di informasikan;
f.      Tuntutan dari kedua belah pihak harus dipenuhi dengan persyaratan sebagai berikut:
ü     Surat atau dokumen yang diberikan ke pengadilan adalah diakui atau dituntut salah/palsu;
ü     Dokumen penting ditemukan dan di sembunyikan oleh lawan; atau;
ü     Penyelesaian dilakukan melalui satu dari tipuan pihak dalam investigasi permasalahan di pengadilan.
g.    Pengadilan negeri dari badan peradilan berkewajiban memberikan penyelesaian dalam 21 hari kerja;
h.    Jika kedua belah pihak tidak puas pada keputusan pengadilan/penyelesaian, mereka tetap memberikan kesempatan untuk mendapatkan sebuah kekuatan hukum yang cepat kepada pengadilan tinggi dalam jangka waktu 14 hari.
i.      Pengadilan Tinggi badan pengadilan berkewajiban memberikan penyelesaian dalam jangka waktu 30 hari.
Terhadap pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku usaha atau pengurusnya dapat mengacu pada ketentuan Pasal 62 Ayat (1) Undang-undang Perlindungan Konsumen, Aantara lain pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun atau denda maksimum Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah), apabila melanggar ketentuan termuat dalam Pasal-pasal 8,9,10,13,15,17 ayat (1) huruf 1,b,c,e dan Ayat (2), dan Pasal 18. Begitu pula dalam Pasal 62 Ayat (2), menetapkan pelanggaran atas Pasal 11, 12, 13 Ayat (1), Pasal 14, Pasal 16 dan Pasal 17 Ayat (1) huruf d dan f, diancam pidana penjara maksimum 2 (dua) tahun penjara atau denda maksimum Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Dan terhadap pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha dan/ atau pengurus yang mengakibatkan konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau meninggal maka diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku sesuai ketentuan Pasal 62 Ayat (3).

Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa:
a. perampasan barang tertentu;
b. pengumuman keputusan hakim;
c. pembayaran ganti rugi;
d. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian
konsumen;
e. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
f. pencabutan izin usaha.

Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa perlindungan konsumen di Indonesia telah dipayungi oleh Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Di dalamnya, hak dan kewajiban konsumen maupun pelaku usaha telah diatur dengan baik. Namun, mekanisme tuntutan ganti rugi yang kadang terlihat rumit membuat konsumen malas untuk melakukan gugatan maupun tuntutan. Hal ini tidak lain karena banyak konsumen yang berfikir tentang banyaknya tenaga dan waktu yang terbuang untuk proses penuntutan ganti rugi dapat berhari-hari.
Jika kita telaah lagi mekanisme penuntutan dengan baik, hal yang membuat panjangnya proses tuntutan terletak pada kepuasan antara pihak yang bersengketa. Hal ini dapat diatasi dengan penyelesaian secara damai yang tidak memerlukan mekanisme yang rumit. Semua ini kembali lagi kepada pihak yang bersengketa. Namun bila yang dilakukan pelaku usaha memiliki unsure pidana, maka akan diproses sesuai hukum pidana yang berlaku.





DAFTAR PUSTAKA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN



PRINSIP PERTANGGUNGJAWABAN DALAM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN


Sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia, seorang konsumen bila dirugikan dalam mengkonsumsi barang atau jasa, dapat menggugat pihak yang menimbulkan kerugian itu. Pihak tersebut di sini bisa berarti produsen/pabrik, supplier, pedagang besar, pedagang eceran/penjual ataupun pihak yang memasarkan produk, bergantung dari siapa yang melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi konsumen.
Produk secara umum diartikan sebagai barang yang secara nyata dapat dilihat, dipegang (Tangible goods), baik yang bergerak maupun  yang  tidak bergerak. Namun dalam kaitan dengan masalah tanggung jawab produsen terhadap produk bukan hanya berupa tangible goods tapi juga termasuk yang bersifat intangible. Dan yang termasuk dalam pengertian produk di sini tidak semata-mata suatu produk yang sudah jadi secara keseluruhan, tapi juga termasuk komponen suku cadang.
Berkenaan dengan masalah cacat (defect) dalam pengertian  produk yang cacat (defective product) yang menyebabkan produsen harus bertanggung jawab dikenal tiga macam defect:
a.       Production/manufacturing defects, apabila suatu produk dibuat tidak sesuai dengan persyaratan sehingga akibatnya produk tersebut tidak aman bagi konsumen.
b.      Design  defects, apabila bahaya dari produk tersebut lebih besar daripada manfaat yang diharapkan oleh konsumen biasa atau bila keuntungan dari disain produk tersebut lebih kecil dari risikonya.
c.       Warning or instruction defects, apabila buku pedoman, buku panduan, pengemasan, etiket (labels), atau plakat tidak cukup memberikan peringatan tentang bahaya yang mungkin timbul dari produk tersebut atau petunjuk tentang penggunaannya yang aman .

Terdapat lima prinsip Pertanggungjawaban dalam Hukum Perlindungan Konsumen, yaitu:
  1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan
2.      Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (Pembuktian terbalik)
3.      Prinsip untuk selalu tidak bertanggung jawab
4.      Prinsip tanggung jawab mutlak (Strict Liability)
5.      Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan

Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability)
Tanggung jawab mutlak (strict liability) adalah bentuk khusus dari trot (perbuatan melawan hukum), yaitu prinsip pertanggung jawaban dalam perbuatan melawan hukum yang tidak didasarkan kepada kesalahan. tetapi prinsip ini mewajibkan pelaku langsung bertanggung jawab atas kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum itu. Karenanya, prinsip strick liability ini disebut juga dengan liability without fault. (Agnes M.Toar, 1989)

            Biasanya prinsip ini diterapkan karena (1), Konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks, (2) diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada gugatan atas kesalahannya,misal dengan asuransi atau menambah komponen biaya tertentu pada harga produknya, (3) Asas ini dapat memaksa produsen lebih berhati-hati.
Prinsip ini biasa digunakan untuk menjerat pelaku usaha (produsen barang) yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen/ product liability
Product liability dapat dilakukan berdasarkan tiga hal: (1) melanggar jaminan, misal khasiat tidak sesuai janji, (2) Ada unsur kelalaian (negligence), lalai memenuhi standar pembuatan obat yang baik, (3) Menerapkan tanggung jawab mutlak (strict liability)
Tanggung jawab produk adalah istilah hukum berasal dari alih bahasa istilah product liability, yakni tanggung jawab produk disebabkan oleh keadaan tertentu produk (cacat atau membahayakan orang lain). Dengan kata lain tanggung jawab produk timbul sebagai akibat dari “product schade” yaitu kerugian yang disebabkan oleh barang-barang produk, yang dipasarkan oleh produsen. Tanggung jawab ini sifatnya mutlak (strict-liability) atau semua kerugian yang diderita seorang pemakai produk cacat atau membahayakan (diri sendiri dan orang lain) merupakan tanggung jawab mutlak dari pembuat produk atau mereka yang dipersamakan dengannya. Dengan diterapkannya tanggung jawab mutlak itu, produsen telah dianggap bersalah atas terjadinya kerugian pada konsumen akibat produk cacat yang bersangkutan (tanggung jawab tanpa kesalahan “liability without fault”), kecuali apabila ia dapat membuktikan sebaliknya bahwa kerugian itu bukan disebabkan produsen sehingga tidak dapat dipersalahkan padanya.  Tujuan peraturan perundang-undangan tentang tanggung jawab produk adalah untuk:
a.       Menekan tingkat kecelakaan karena produk cacat; atau
b.      Menyediakan saran ganti rugi bagi (korban) produk cacat yang tak dapat dihindari.
Dalam hukum, setiap tuntutan pertanggungjawaban harus mempunyai dasar, yaitu hal yang menyebabkan seseorang harus (wajib) bertanggung jawab. Dasar pertanggungjawaban itu menurut hukum perdata adalah kesalahan dan risiko yang ada dalam setiap peristiwa hukum.
Secara teoritis pertanggungjawaban yang terkait dengan hubungan hukum yang timbul antara pihak yang menuntut pertanggungjawaban dengan pihak yang dituntut untuk bertanggung jawab dapat dibedakan menjadi:
a.       Pertanggungjawaban atas dasar kesalahan, yang dapat lahir karena terjadinya wanprestasi, timbulnya perbuatan melawan hukum, tindakan yang kurang hati-hati.
b.      Pertanggungjawaban atas dasar risiko, yaitu tanggung jawab yang harus dipikul sebagai risiko yang harus diambil oleh seorang pengusaha atas kegiatan usahanya. 
Sedangkan tuntutan ganti rugi atas kerugian yang dialami oleh konsumen sebagai akibat penggunaan produk, baik yang berupa kerugian materi, fisik maupun jiwa, dapat didasarkan pada beberapa ketentuan, yang secara garis besar hanya ada dua kategori, yaitu tuntutan ganti kerugian yang berdasarkan wanprestasi dan tuntutan ganti kerugian berdasarkan perbuatan melanggar hukum.
Pertanggungjawaban mutlak ini tentunya dapat melindungi konsumen dari pelaku usaha yang lalai dalam memasarkan produknya. Pelaku usaha dipaksa untuk mematuhi aturan dalam memasarkan produk seperti yang tercantum dalam Pasal-pasal pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Barang yang dipasarkan harus dalam keadaan baik dan tidak boleh melanggar sesuai dengan yang tercantum jelas dalam Pasal 8 UUPK. Jika produk yang digunakan konsumen cacat dan menimbulkan kerugian bagi konsumen, maka pelaku usaha wajib mengganti kerugian tanpa perlu adanya pembuktian adanya kesalahan.
Setelah mengetahui prinsip-prinsip pertanggungjawaban ini, konsumen dapat menggugat pelaku usaha tanpa perlu pembuktian adanya kesalahan. Hal ini dapat membuat konsumen merasa terlindungi dari pelaku usaha yang ‘nakal’ dan tidak memiliki itikad baik.



DAFTAR PUSTAKA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN