Jumat, 24 Juni 2011

PRINSIP PERTANGGUNGJAWABAN DALAM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN


Sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia, seorang konsumen bila dirugikan dalam mengkonsumsi barang atau jasa, dapat menggugat pihak yang menimbulkan kerugian itu. Pihak tersebut di sini bisa berarti produsen/pabrik, supplier, pedagang besar, pedagang eceran/penjual ataupun pihak yang memasarkan produk, bergantung dari siapa yang melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi konsumen.
Produk secara umum diartikan sebagai barang yang secara nyata dapat dilihat, dipegang (Tangible goods), baik yang bergerak maupun  yang  tidak bergerak. Namun dalam kaitan dengan masalah tanggung jawab produsen terhadap produk bukan hanya berupa tangible goods tapi juga termasuk yang bersifat intangible. Dan yang termasuk dalam pengertian produk di sini tidak semata-mata suatu produk yang sudah jadi secara keseluruhan, tapi juga termasuk komponen suku cadang.
Berkenaan dengan masalah cacat (defect) dalam pengertian  produk yang cacat (defective product) yang menyebabkan produsen harus bertanggung jawab dikenal tiga macam defect:
a.       Production/manufacturing defects, apabila suatu produk dibuat tidak sesuai dengan persyaratan sehingga akibatnya produk tersebut tidak aman bagi konsumen.
b.      Design  defects, apabila bahaya dari produk tersebut lebih besar daripada manfaat yang diharapkan oleh konsumen biasa atau bila keuntungan dari disain produk tersebut lebih kecil dari risikonya.
c.       Warning or instruction defects, apabila buku pedoman, buku panduan, pengemasan, etiket (labels), atau plakat tidak cukup memberikan peringatan tentang bahaya yang mungkin timbul dari produk tersebut atau petunjuk tentang penggunaannya yang aman .

Terdapat lima prinsip Pertanggungjawaban dalam Hukum Perlindungan Konsumen, yaitu:
  1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan
2.      Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (Pembuktian terbalik)
3.      Prinsip untuk selalu tidak bertanggung jawab
4.      Prinsip tanggung jawab mutlak (Strict Liability)
5.      Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan

Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability)
Tanggung jawab mutlak (strict liability) adalah bentuk khusus dari trot (perbuatan melawan hukum), yaitu prinsip pertanggung jawaban dalam perbuatan melawan hukum yang tidak didasarkan kepada kesalahan. tetapi prinsip ini mewajibkan pelaku langsung bertanggung jawab atas kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum itu. Karenanya, prinsip strick liability ini disebut juga dengan liability without fault. (Agnes M.Toar, 1989)

            Biasanya prinsip ini diterapkan karena (1), Konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks, (2) diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada gugatan atas kesalahannya,misal dengan asuransi atau menambah komponen biaya tertentu pada harga produknya, (3) Asas ini dapat memaksa produsen lebih berhati-hati.
Prinsip ini biasa digunakan untuk menjerat pelaku usaha (produsen barang) yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen/ product liability
Product liability dapat dilakukan berdasarkan tiga hal: (1) melanggar jaminan, misal khasiat tidak sesuai janji, (2) Ada unsur kelalaian (negligence), lalai memenuhi standar pembuatan obat yang baik, (3) Menerapkan tanggung jawab mutlak (strict liability)
Tanggung jawab produk adalah istilah hukum berasal dari alih bahasa istilah product liability, yakni tanggung jawab produk disebabkan oleh keadaan tertentu produk (cacat atau membahayakan orang lain). Dengan kata lain tanggung jawab produk timbul sebagai akibat dari “product schade” yaitu kerugian yang disebabkan oleh barang-barang produk, yang dipasarkan oleh produsen. Tanggung jawab ini sifatnya mutlak (strict-liability) atau semua kerugian yang diderita seorang pemakai produk cacat atau membahayakan (diri sendiri dan orang lain) merupakan tanggung jawab mutlak dari pembuat produk atau mereka yang dipersamakan dengannya. Dengan diterapkannya tanggung jawab mutlak itu, produsen telah dianggap bersalah atas terjadinya kerugian pada konsumen akibat produk cacat yang bersangkutan (tanggung jawab tanpa kesalahan “liability without fault”), kecuali apabila ia dapat membuktikan sebaliknya bahwa kerugian itu bukan disebabkan produsen sehingga tidak dapat dipersalahkan padanya.  Tujuan peraturan perundang-undangan tentang tanggung jawab produk adalah untuk:
a.       Menekan tingkat kecelakaan karena produk cacat; atau
b.      Menyediakan saran ganti rugi bagi (korban) produk cacat yang tak dapat dihindari.
Dalam hukum, setiap tuntutan pertanggungjawaban harus mempunyai dasar, yaitu hal yang menyebabkan seseorang harus (wajib) bertanggung jawab. Dasar pertanggungjawaban itu menurut hukum perdata adalah kesalahan dan risiko yang ada dalam setiap peristiwa hukum.
Secara teoritis pertanggungjawaban yang terkait dengan hubungan hukum yang timbul antara pihak yang menuntut pertanggungjawaban dengan pihak yang dituntut untuk bertanggung jawab dapat dibedakan menjadi:
a.       Pertanggungjawaban atas dasar kesalahan, yang dapat lahir karena terjadinya wanprestasi, timbulnya perbuatan melawan hukum, tindakan yang kurang hati-hati.
b.      Pertanggungjawaban atas dasar risiko, yaitu tanggung jawab yang harus dipikul sebagai risiko yang harus diambil oleh seorang pengusaha atas kegiatan usahanya. 
Sedangkan tuntutan ganti rugi atas kerugian yang dialami oleh konsumen sebagai akibat penggunaan produk, baik yang berupa kerugian materi, fisik maupun jiwa, dapat didasarkan pada beberapa ketentuan, yang secara garis besar hanya ada dua kategori, yaitu tuntutan ganti kerugian yang berdasarkan wanprestasi dan tuntutan ganti kerugian berdasarkan perbuatan melanggar hukum.
Pertanggungjawaban mutlak ini tentunya dapat melindungi konsumen dari pelaku usaha yang lalai dalam memasarkan produknya. Pelaku usaha dipaksa untuk mematuhi aturan dalam memasarkan produk seperti yang tercantum dalam Pasal-pasal pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Barang yang dipasarkan harus dalam keadaan baik dan tidak boleh melanggar sesuai dengan yang tercantum jelas dalam Pasal 8 UUPK. Jika produk yang digunakan konsumen cacat dan menimbulkan kerugian bagi konsumen, maka pelaku usaha wajib mengganti kerugian tanpa perlu adanya pembuktian adanya kesalahan.
Setelah mengetahui prinsip-prinsip pertanggungjawaban ini, konsumen dapat menggugat pelaku usaha tanpa perlu pembuktian adanya kesalahan. Hal ini dapat membuat konsumen merasa terlindungi dari pelaku usaha yang ‘nakal’ dan tidak memiliki itikad baik.



DAFTAR PUSTAKA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

1 komentar:

  1. aku ada copy beberapa sumber dari blog ini untuk bahan tugas kuliah saya, bole khan....he..he...tks ya....

    from by, andrieslatjandu.blogspot.com

    BalasHapus