Jumat, 24 Juni 2011

MEKANISME TUNTUTAN GANTI RUGI DALAM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

Di dalam dunia perdagangan tidak jarang kita mendengar adanya kelalaian atau tidak adanya itikad baik pada pelaku usaha yang sering kali menimbulkan kerugian pada konsumen. Namun karena keterbatasan pengetahuan, konsumen tidak tahu bagaimana cara untuk menuntut kerugian yang mereka alami. Untuk itu, perlu dibuat mekanisme tuntutan ganti rugi di dalam Hukum Perlindungan Konsumen guna membantu mengatasi keterbatasan pengetahuan tersebut.

Mekanisme tuntutan ganti rugi
Konsumen dapat menuntut ganti berdasarkan perbuatan melawan hukum Pasal 1365 KUHPerdata. Untuk dapat menuntut ganti kerugian berdasarkan perbuatan melawan hukum harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1.      Perbuatan itu harus melawan hukum
Perbuatan melawan hukum tidak lagi hanya sekedar melanggar undang-undang, melainkan perbuatan melawan hukum tersebut dapat berupa: Melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat, berlawanan dengan kesusilaan baik, berlawanan dengan sikap hati-hati yang seharusnya diindahkan dalam pergaulan masyarakat terhadap diri atau benda orang lain.
2.      Ada Kerugian
Kerugian yang timbul dari perbuatan orang lain, dalam hal ini pelaku usaha, baik itu kerugian materiil maupun kerugian immateriil.
3.      Ada hubungan sebab akibat
Hubungan sebab akibat misalnya hubungan kerugian yang diterima konsumen dengan tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha.
4.      Ada Kesalahan (schuld)
Adanya unsur kesalahan yang dapat dibuktikan.

Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
Pada dasarnya penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui pengadilan atau diluar pengadilan. Dalam UUPK, penyelesaian sengketa konsumen diatur dalam Bab X pasal 45-48. Penyelesaian dengan cara non-peradilan bisa dilakukan melalui Alternatif Resolusi Masalah (ARM) di BPSK, LPKSM, Direktorat Perlindungan Konsumen atau lokasi-lokasi lain yang telah disetujui kedua belah pihak.
BPSK dibentuk pemerintah di tiap-tiap daerah untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan secara murah, cepat dan sederhana. Secara teknis Penyelesaian Sengketa Melalui BPSK diatur dalam Surak Keputusan (SK) Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Tata Cara Penyelesaian Melalui BPSK
1.      Konsiliasi:
a.    BPSK membentuk sebuah badan sebagai pasif fasilitator;
b.    Badan yang membiarkan yang bermasalah untuk menyelesaikan masalah mereka secara menyeluruh oleh mereka sendiri untuk bentuk dan jumlah kompensasi;
c.    Ketika sebuah penyelesaian dicapai, itu akan dinyatakan sebagai persetujuan rekonsiliasi yang diperkuat oleh keputusan BPSK;
d.    Penyelesaian dilaksanakan paling lama 21 hari kerja.
2.      Mediasi:
a.    BPSK membentuk sebuah fungsi badan sebagai fasilitator yang aktif untuk memberikan petunjuk, nasehat dan saran kepada yang bermasalah;
b.    Badan ini membiarkan yang bermasalah menyelesaikan permasalahan mereka secara menyeluruh untuk bentuk dan jumlah kompensasinya;
c.    Ketika sebuah penyelesaian dicapai, itu akan diletakkan pada persetujuan rekonsiliasi yang diperkuat oleh keputusan BPSK;
d.    Penyelesaian dilaksanakan paling lama 21 hari kerja.



3.      Arbitrasi:
a.    Yang bermasalah memilih badan CDSB sebagai arbiter dalam menyelesaikan masalah konsumen;
b.    Kedua belah pihak seutuhnya membiarkan badan tersebut menyelesaikan permasalahan mereka;
c.    BPSK membuat sebuah penyelesaian final yang mengikat;
d.    Penyelesaian harus diselesaikan dalam jangka waktu 21 hari kerja paling lama.
e.    Ketika kedua belah pihak tidak puas pada penyelesaian tersebut, kedua belah pihak dapat mengajukan keluhan kepada pengadilan negeri dalam 14 hari setelah penyelesaian di informasikan;
f.      Tuntutan dari kedua belah pihak harus dipenuhi dengan persyaratan sebagai berikut:
ü     Surat atau dokumen yang diberikan ke pengadilan adalah diakui atau dituntut salah/palsu;
ü     Dokumen penting ditemukan dan di sembunyikan oleh lawan; atau;
ü     Penyelesaian dilakukan melalui satu dari tipuan pihak dalam investigasi permasalahan di pengadilan.
g.    Pengadilan negeri dari badan peradilan berkewajiban memberikan penyelesaian dalam 21 hari kerja;
h.    Jika kedua belah pihak tidak puas pada keputusan pengadilan/penyelesaian, mereka tetap memberikan kesempatan untuk mendapatkan sebuah kekuatan hukum yang cepat kepada pengadilan tinggi dalam jangka waktu 14 hari.
i.      Pengadilan Tinggi badan pengadilan berkewajiban memberikan penyelesaian dalam jangka waktu 30 hari.
Terhadap pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku usaha atau pengurusnya dapat mengacu pada ketentuan Pasal 62 Ayat (1) Undang-undang Perlindungan Konsumen, Aantara lain pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun atau denda maksimum Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah), apabila melanggar ketentuan termuat dalam Pasal-pasal 8,9,10,13,15,17 ayat (1) huruf 1,b,c,e dan Ayat (2), dan Pasal 18. Begitu pula dalam Pasal 62 Ayat (2), menetapkan pelanggaran atas Pasal 11, 12, 13 Ayat (1), Pasal 14, Pasal 16 dan Pasal 17 Ayat (1) huruf d dan f, diancam pidana penjara maksimum 2 (dua) tahun penjara atau denda maksimum Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Dan terhadap pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha dan/ atau pengurus yang mengakibatkan konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau meninggal maka diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku sesuai ketentuan Pasal 62 Ayat (3).

Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa:
a. perampasan barang tertentu;
b. pengumuman keputusan hakim;
c. pembayaran ganti rugi;
d. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian
konsumen;
e. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
f. pencabutan izin usaha.

Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa perlindungan konsumen di Indonesia telah dipayungi oleh Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Di dalamnya, hak dan kewajiban konsumen maupun pelaku usaha telah diatur dengan baik. Namun, mekanisme tuntutan ganti rugi yang kadang terlihat rumit membuat konsumen malas untuk melakukan gugatan maupun tuntutan. Hal ini tidak lain karena banyak konsumen yang berfikir tentang banyaknya tenaga dan waktu yang terbuang untuk proses penuntutan ganti rugi dapat berhari-hari.
Jika kita telaah lagi mekanisme penuntutan dengan baik, hal yang membuat panjangnya proses tuntutan terletak pada kepuasan antara pihak yang bersengketa. Hal ini dapat diatasi dengan penyelesaian secara damai yang tidak memerlukan mekanisme yang rumit. Semua ini kembali lagi kepada pihak yang bersengketa. Namun bila yang dilakukan pelaku usaha memiliki unsure pidana, maka akan diproses sesuai hukum pidana yang berlaku.





DAFTAR PUSTAKA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN



Tidak ada komentar:

Posting Komentar